PAMEKASAN – Para pedagang batik di Pamekasan sedikit mengelus dada. Bisnis barang yang diakui sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco itu sedang lesu. Tak terkecuali di pusat penjualan batik di Pasar 17 Agustus, Jalan Pintu Gerbang, Kota Pamekasan.
Jawa Pos Radar Madura berkunjung ke pasar batik terbesar di Jawa Timur itu Kamis (1/6). Dari puluhan kios batik, nyaris tidak ada konsumen yang datang. Beberapa pedagang tampak duduk menunggu pembeli. Sebagian yang lain berbincang-bincang dengan sesama pedagang.
Abdul Adzim, salah seorang pedagang batik di Pasar 17 Agustus menceritakan, Ramadan kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun lalu dia memperoleh banyak pesanan. Bahkan setiap hari pasaran, yakni Minggu dan Kamis, dia mengirim batik ke luar daerah antara 35 hingga 50 potong.
Sementara pada Ramadan tahun ini, dia sama sekali belum mengirim batik ke luar daerah. Tahun ini, kata Adzim, jangankan mengirim ke luar kota, pesanan di pasar saja nyaris tidak ada. Dalam seminggu terakhir, hanya satu dua orang yang mendatangi kiosnya. Itu pun tidak semua yang datang membeli batik.
”Sebelum Ramadan memang sepi. Memasuki Ramadan tambah sepi. Sehari kadang tidak ada yang beli,” katanya.
Karena itulah, para pedagang harus memiliki inovasi dalam memasarkan batik. Salah satunya, memasarkan di media sosial. Seperti Facebook, WhatsApp, dan lainnya. Tetapi kali ini pemasaran lewat online pun sepi peminat. ”Kalau sudah tidak laku, harus cari penghasilan sampingan. Selain berjualan batik, juga harus bekerja lain,” jelasnya.
Terpisah, Ketua Komisi II DPRD Pamekasan Apik mengaku prihatin atas lesunya bisnis batik. Padahal menurutnya, batik Pamekasan diakui di tingkat nasional. Kualitas batik Pamekasan bisa mengalahkan produk dari kota-kota besar penghasil batik seperti Jogjakarta, Pekalongan, atau Solo.
”Kami cukup prihatin dengan kondisi ini. Padahal dulu pada 2012 batik begitu diganderungi,” katanya. Menurut Apik, perlu terobosan baru agar batik kembali dicintai masyarakat. Lesunya bisnis batik bukan karena tidak berkualitas, melainkan animo masyarakat yang kini mulai berkurang.
Dulu, papar Apik, awal-awal batik diakui sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco pada 2009, batik sangat dicintai masyarakat. Seakan kurang afdal manakala masyarakat tidak memakai batik. Tetapi lambat laun, kondisi itu berubah dan bisnis batik semakin surut.
”Karena itulah perlu diciptakan momentum cinta batik. Seperti sepak bola, begitu ada piala dunia, biasanya anak-anak kampung semangat main bola. Batik juga harus diciptakan momentum,” sarannya.
Sumber : http://radarmadura.jawapos.com
BACA JUGA :
0 komentar:
Posting Komentar